Jumat, 09 Maret 2012

mein Traum, ein Arzt

Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia.. (Laskar Pelangi, Nidji)

Kalimat di atas merupakan sepenggal lirik lagu yang dinyanyikan oleh Nidji dan didaulat menjadi theme song film Laskar Pelangi. Sebuah film yang akhirnya bisa menginspirasi banyak orang penontonnya untuk tidak takut bermimpi dan mengerjarnya. Tapi, bukan film Laskar Pelangi yang mau saya bahas. Saya mau membahas tentang kata “mimpi”. Sebuah kata sederhana yang saya yakin kalau setiap orang memilikinya. Tidak ada yang salah dengan mimpi seseorang. Ingin menaklukkan dunia dengan menjadi seorang ilmuwan terkemuka, boleh. Menjadi artis terkenal yang menyabet banyak penghargaan, silakan. Atau mungkin, justru bermimpi untuk memiliki sekolah yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak jalanan? Jelas, itu sebuah mimpi yang mulia. Semua orang pernah bermimpi. Dan pasti memiliki mimpi yang masih ingin dicapai, termasuk saya.
Bicara soal mimpi, saya sebenarnya punya segudang mimpi. Mulai dari mimpi yang sederhana, sampai yang benar-benar kompleks, bahkan saya sampai membuat to-do lists untuk menggapainya. Ada pula mimpi yang jauh dari jangkauan. Jauh dari jangkauan karena akhirnya saya menyadari bahwa real self dan ideal self yang tidak selaras. Di tulisan ini, sederhana saja. Saya mau berbagi soal transformasi mimpi saya sejak masih duduk di bangku sekolah dasar sampai sekarang menjadi mahasiswi Psikologi. Mimpi yang telah dibentuk sejak kecil dan terus mengalami pembaharuan seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman.
Sejak SD, saya sering sekali ditanya, “kamu kalau udah gede, mau jadi apa sih?”. Jujur, saya senang sekali mendapat pertanyaan itu. Karena untuk menjawabnya, saya tidak perlu berpikir susah-susah dan menganalisa setiap kata yang akan keluar dari mulut saya. Saya merasa bebas untuk menceritakan profesi (atau lebih tepatnya pekerjaan) yang saya idam-idamkan. Perjalanan mimpi saya dimulai ketika saya bertekad untuk menjadi seorang dokter . . .



Tidak ada komentar:

Posting Komentar